Jumlah Raka’at dan Tata Cara Shalat Tarawih

Jumlah Raka’at dan Tata Cara Shalat Tarawih |
 
Adapun Tata Cara Shalat Tarawih, yaitu :
 
1. Shalat Tarawih dapat dikerjakan secara jama’ah maupun munfarid (sendiri-sendiri). Menurut jumhur ulama, mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah adalah lebih utama.
 
2. Shalat tarawih dapat dikerjakan sebanyak 11 raka’at, dengan 8 raka’at shalat tarawih, dan 3 raka’at shalat witir. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra : “Rasulullah SAW, tidak penah menambah shalat sunnahnya pada waktu malam, baik itu ketika bulan Ramadhan maupun lainnya, lebih dari sebelas raka’at(HR. Jama’ah selain Tirmidzi). Shalat tarawih dapat juga dikerjakan sebanyak 20 raka’at seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
 
3. Diperbolehkan membaca surah atau ayat apa pun di dalam alquran setelah membaca alfatihah pada shalat tarawih, boleh surah-surah yang pendek maupun surah-surah yang panjang. Beberapa ulama menyatakan bahwa lebih utama jika memanjangkan bacaan surah pada saat shalat tarawih.
 
 
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra dikatakan bahwa : “Rasulullah tidak menambah (melebihkan) bilangan shalat malam di dalam bulan Ramadhan yang satu dengan yang lainnya, kecuali sebelas raka’at. Beliau mengerjakan shalat empat raka’at (yang pertama). Maka janganlah engkau tanyakan mengenai bagus dan panjangnya shalat itu (cukup lama dan sempurna atau khusyu). Lalu beliau kerjakan empat raka’at lagi, maka janganlah engkau tanyakan mengenai bagus dan pangjangnya shalat itu. Setelah itu, beliau kerjakan tiga raka’at. Lalu aku bertanya : “Ya Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum engkau Shalat Witir ?”. Nabi SAW menjawab : “Ya, ‘Aisyah, sesungguhnya dua mataku tertidur tetapi hatiku tidak tidur(HR. Bukhari dan Muslim).
 
 
Begitulah sifat shalat Nabi SAW, jika melakukan Shalat tarawih pada bulan Ramadhan yang sebelas raka’at itu, dengan lama berdirinya, lama rukunya dan lama sujudnya, hal ini diperjelas dengan hadits-hadits lainnya Ibnu Mas’ud menuturkan : “Pada suatu malam aku shalat tarawih bersama Nabi SAW. Karena terlalu lama berdirinya, maka timbullah niat yang tidak baik dariku. Saat ditanya : “Apakah niat itu ?”. Kujawab : “Aku berniat akan duduk meninggalkan (tidak mengikuti) Rasulullah(HR. Bukhari dan Muslim).
Selanjutnya ‘Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW biasa shalat malam (Shalat Tarawih ditambah dengan Shalat witir) sebelas raka’at, di mana satu kali sujud (lamanya) sama dengan orang membaca lima puluh ayat alquran. Sebelum itu beliau tidak akan mengangkat kepalanya. Setelah itu, beliau shalat dua raka’at sebelum fajar. Lalu, beliau berbaring pada pinggang kanannya, sampai datang mu’adzdzin memberitahukan akan iqamah untuk shalat (yakni shalat subuh)(HR. Bukhari).
Selanjutnya di dalam satu riwayat dikatakan bahwa pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, kaum Muslimin melakukan shalat tarawih di malam bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at dengan 10 kali salam ditambah dengan 3 raka’at shalat witir, sebagaimana diterangkan oleh seorang sahabat sebagai berikut : “Pernah mereka (para sahabat) mendirikan ibadah (Shalat Tarawih) pada bulan Ramadhan di masa Umar bin Khattab dengan 20 raka’at(HR. Baihaqi). Yazid bin Ruman juga berkata : “Pernah orang-orang (kaum Muslimin) mendirikan ibadah di bulan Ramadhan di masa Umar bin Khattab dengan 20 raka’at(HR. Malik Dalam Al Mu-waththa). 
Adapun Umar bin Khattab menambah raka’at Shalat Tarawih menjadi 20 raka’at, dengan memendekkan bacaan Alquran, tasbih dan doa-doanya, sehingga tidak terlalu lama berdiri di dalam shalat tarawih itu. Perubahan yang dilakukan tersebut guna untuk menyesuaikan kondisi kemampuan jama’ah saat itu, yang tidak kuat berdiri lama di dalam shalat tarawih. Umar bin Khattab mengetahui bahwa Allah SWT memberikan beban kepada hamba-NYa disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki si hamba itu, seperti tersebut di dalam Firman Allah SWT dalam Surah Al Baqarah ayat 286 : “Allah tidak membebani seseorang, melainkan sekedar yang disanggupi orang tersebut“. Juga di dalam Surah Al Baqarah ayat 285, dijelaskan bahwa : “Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki yang kesukaran“.
 
Pada suatu kesempatan, ‘Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Ambillah sebanyak-banyak amalan yang kamu mampu. Demi Allah, Allah tidak akan memutuskan pahala-Nya sampai kamu merasa puas di dalam beribadah(HR. Bukhari).
 
Berdasarkan pada riwayat di atas para ulama yang menyetujui jumlah raka’at tersebut mengatakan bahwa jika Nabi Muhammad SAW melaksanakan 11 raka’at, tidaklah berarti tidak boleh ditambah raka’atnya, karena Nabi SAW sendiri menganjurkan untuk memperbanyak amalan di bulan Ramadhan, dan salah satu amalan bulan Ramadhan adalah Shalat Tarawih. Oleh sebab itu tidak ada salahnya menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 20 raka’at ditambah dengan Shalat Witir 3 raka’at, sehingga menjadi 23 raka’at.
 
 
Seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib juga melaksanakan shalat tarawih dengan 20 raka’at dan shalat witir 3 raka’at. Di antara ulama yang berpendapat bahwa raka’at shalat Tarawih itu 20 raka’at adalah ke empat imam yaitu Imam Malik, Imam Abu Hanifa atau Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam bin Hanbal atau Imam Hanbali. Hal ini juga diikuti oleh Imam Ats-Tsauri, akan tetapi Imam Malik di dalam Al Mudawwanah Al Kubra (yang berisi berbagai pandangan Imam Malik mengenai masalah-masalah fiqih) lebih cenderung memilih jumlah raka’at shalat tarawih sebanyak 36 raka’at, sebagaimana diamalkan penduduk Madinah. Ulama-ulama dari Madzhab Maliki menganggap jumlah raka’at shalat tarawih ini tidak ada batasnya. Artinya, boleh diamalkan di dalam jumlah 8, 20 atau 36 raka’at. Kemudian ada juga riwayat lain dari Imam At Tirmdzi yang mengatakan bahwa sebagian ulama ada yang membolehkan sampai sebanyak 41 raka’at, termasuk shalat witir.
 
 
Permasalah jumlah raka’at Shalat Tarawih ini termasuk permasalahan khilafiah (perbedaan pendapat di dalam menentukan hukum), maka di negara-negara Islam didapati kaum Muslimin yang mengerjakan shalat tarawih sebanyak 8 rakaat, dan ada juga 20 raka’at. Demikianlah dinamika pelaksanaan shalat tarawih pada bulan Ramadhan sejak zaman Nabi SAW sampai dengan penetapan fatwa-fatwa oleh para Imam Mujtahidin.
 
 
Untuk lebih mendapatkan keyakinan kepada kita, di dalam pengambilan jumlah raka’at Shalat Tarawih, boleh atau tidak mengikuti seperti yang dicontohnya oleh sahabat Umar bin Khattab ?. Maka dapat pahami dengan sabda Rasulullah SAW : “Maka berpeganglah kamu dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin, serta (para ulama) yang mendapat hidayah sesudah matiku. Lalu gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu (berpeganglah kuat-kuat kepadanya)(HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
 
 
Rasulullah SAW bersabda lagi : “Jika salah seorang di antaramu shalat (mengimami) orang banyak, hendakah memperpendek (shalatnya). Sebab, sesungguhnya di kalangan mereka ada yang lemah, yang sakit, dan yang lanjut usia. Akan tetapi jika shalat sendirian, panjangkanlah (Shalatnya) dengan sesukanya(HR. Jama’ah).
 
 
Begitu juga Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Sesungguhnya aku akan menunaikan shalat dan aku ingin memanjangkannya, tiba-tiba aku mendengar tangisan anak kecil, lalu aku mempercepat shalatku, karena aku mengetahui si ibu sangat kasih (iba) terhadap tangis anaknya itu(HR. Jama’ah, kecuali Abu Daud dan Nasa’i).
 
 
Dari hadits di atas ini, lalu dapat dihubungkan dengan hadits-hadits yang lain, kita dapat menarik pelajaran bahwa mengikuti sahabat Nabi SAW yang mendapat petunjuk, seperti Umar bin Khattab merupakan perintah Nabi SAW. Umar bin Khattab memperbanyak jumlah raka’at shalat tarah dengan memperpendek bacaan, tasbih dan dzikir, sehingga tidak lama waktu untuk berdiri di dalam shalat, hal ini dilakukan mengingat kemampuan jama’ah saat itu tidak kuat lagi berdiri lama di dalam shalat tarawih. Dalam hal memperpendek waktu berdiri di dalam shalat ini, didukung oleh hadits di atas, di mana Nabi berpesan kepada orang yang menjadi imam agar mempercepat shalatnya karena kemampuan jama’ah itu beragam, yaitu ada yang memiliki keperluan, ada yang sudah tua, ada yang memiliki anak kecil dan lain sebagainya.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Al-Mukmin (Menjadikan Pribadi yang Jujur) | Asmaul Husna

Pengertian Ijma' Menurut Bahasa dan Istilah

Macam-macam Qiyas