Pengertian Ijma' Menurut Bahasa dan Istilah

Pengertian Ijma' Menurut Bahasa dan Istilah

 
Menurut bahasa, Ijma’ adalah kata benda verbal (mashdar) dari kata أجمع yang mempunyai dua makna, memutuskan dan menyepakati sesuatu. Contoh pertama: ajma’a fulan ‘ala kadza (si A memutuskan begini). Contoh kedua: ajma’a al-qaum ‘ala kadza (orang-orang sepakat bulat tentang begini). Makna kedua dan pertama sering digabung, di mana bila ada kesepakatan bulat tentang sesuatu, maka juga ada keputusan tentang soal itu.
Menurut istilah, al-Ghazali mengatakan bahwa pengertian Ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad saw, khususnya atau suatu persoalan keagamaan. Menurut jumhur ulama ushul, Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Muhammad saw. setelah wafatnya di satu kurung waktu, atas hukum agama di dalam suatu kejadian (warqi’ah).
Ijma’ atau kosensus, sumber hukum syariat ketiga setelah al-Quran dan al-Sunnah, didefinisikan sebagai persetujuan para ahli hukum Islam pada masa tertentu tentang masalah hukum. Al-Syafi’iy menolak Ijma’ para ulama. Pengertian Ijma’ menurut al-Syafi’iy adalah termasuk persetujuan seluruh masyarakat. Sementara al-Ghazali menyusun sebuah modus vivendi yang mengikat kebulatan masyarakat mengenai dasar-dasar yang meninggalkan masalah detail bagi persetujuan ulama, sedang mazhab Syi’ah tidak menerima Ijma’ kecuali berasal dari keluarga
nabi. Ijma’ menurut mereka adalah konsensus yang mewujudkan pandangan imam yang sempurna dan tidak semata-mata persetujuan ulama tentang suatu opini.
Mayoritas ahli ushul al-fiqh setelah al-Syafi’iy memberikan pengertian Ijma’ sebagai kesepakatan ulama atau mujtahid mengenai suatu hukum Islam. Misalnya al-Syiraziy (w. 476 H.), mengartikan Ijma’ sebagai kesepakatan ulama mengenai hukum suatu peristiwa. Sedang menurut al-‘Amidiy (w. 631 H.) Ijma’ adalah kesepakatan semua anggota ahl al-hill wa al-‘aqd dari umat Muhammad dalam satu priode tertentu mengenai suatu hukum peristiwa tertentu. Ijma’ ialah kebulatan pendapat semua mujtahidin umat Islam atas sesuatu pendapat (hukum) yang disepakati oleh mereka, baik dalam suatu pertemuan atau berpisah-pisah, maka hukum tersebut mengikat (wajib ditaati) dan dalam hal ini Ijma’ merupakan dalil qath’iy, akan tetapi kalau hukum tersebut haya keluar dari kebanyakan mujtahidin maka hanya dianggap sebagai dalil Dzanniy dan lagi perseorangan boleh mengikuti sedang bagi orang-orang tingkatan mujtahidin boleh berpendapat lain, selama oleh para penguasa tidak diwajibkan untuk melaksanakannya. Ijma’ harus mempunyai dasar yaitu al-Quran dan al-Sunnah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Al-Matin (Menjadikan Pribadi yang Tangguh) | Asmaul Husna

Jumlah Raka’at dan Tata Cara Shalat Tarawih